Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Penuturan Dian Sastro Mengenai Autisme Anak Pertamanya

Dalam acara "Beauty In My Ability" di Special Kids Expo 2019, Dian berbagi akan kondisi anak laki-lakinya bersama para pakar terkait.

Penuturan Dian Sastro Mengenai Autisme Anak Pertamanya

Pengunjung Special Kids Expo 2019 sontak kaget dengan penuturan Dian Sastrowardoyo mengenai kondisi anak sulungnya yang mengidap autisme. Pasalnya, memang tidak banyak yang mengetahui bahwa anak laki-laki Dian yang kini duduk di bangku sekolah dasar pernah mengalami autisme. Bazaar datang ke acara @spekix.id yang diadakan akhir Agustus silam dan menemukan beberapa fakta menarik tentang autisme yang patut Anda selami. Namun sebelum itu, simak penuturan lebih lanjut Dian Sastrowardoyo mengenai kondisi anaknya tersebut.



Sebagai seorang ibu, Dian Sastrowardoyo tidak menyangka bahwa anak pertamanya memiliki autisme. Dian mendapati perilaku berbeda datang dari anak sulungnya yang saat itu berusia 6 bulan, ketika berinteraksi dengan teman-teman sekolah. Setelah melewati beberapa pertimbangan, Dian akhirnya memutuskan untuk konsultasi ke pakar atas indikasi yang diperlihatkan anaknya. Dari 7 ciri utama autisme, anak sulung Dian menunjukkan 7 indikasi tersebut. Lalu apa saja 7 ciri utama autisme?


Kenali 7 Ciri Utama Autisme

Jika ada anggota keluarga atau anak dari kerabat Anda mengidap autisme, kenali 7 indikasi berikut dan bantu orang terdekat Anda dengan memberikan informasi tersebut. Ketua Yayasan MPATI (Masyarakat Peduli Autis Indonesia), Gayatri Pamoedji, menyebutkan saat pembukaan acara Spekix bahwa jika anak menunjukkan 2 dari 7 ciri utama autisme, Anda sebaiknya konsultasi lebih lanjut pada dokter atau pakar terkait. Karena dua ciri saja sudah sah menandakan seorang anak mengidap autisme.

Dian juga mendorong agar para orang tua lebih peka, terutama bagi ibu. Karena hubungan ibu dan anak memiliki ikatan yang berbeda dari hubungan bapak dan anak. Dian menuturkan saat acara Spekix berlangsung, bahwa insting Dian mengatakan ada yang berbeda dari anaknya. Di hadapan publik Dian mengaku bahwa insting dan firasatnya yang menjadi faktor utama keputusan Dian untuk menemui pakar.

Alhasil, Dian membawa anaknya untuk terapi saat berusia 8 bulan. Selama 40 jam seminggu terapi dilakukan, ditambah dengan peran Dian sebagai ibu yang memfasilitasi serta mengedukasi anaknya di rumah, usaha Dian akhirnya terbayarkan. Melalui Special Kids Expo 2019, Dian mengajak masyarakat Indonesia untuk terbuka akan isu autisme ini, "Kalau kita kasih banyak pertolongan untuk anak-anak ini, akan ada titik terang di ujung jalan", ujar Dian.

1. Cara Bersosialisasi

Anak-anak autis cenderung tidak bersosialisasi dan kerap kali mereka tidak memiliki ketertarikan dengan anak-anak lain. Mereka asik dengan 'dunia' sendiri, sehingga sulit untuk memiliki koneksi dengan lingkungan sekitar. Kesulitan berinteraksi dengan orang lain menyebabkan mereka tidak mampu menjalin hubungan pertemanan atau bahkan sekadar berbagi mainan. Hal ini juga dirasakan Dian saat anaknya berumur 6 bulan, di masa awal mula bersekolah. Dian mengamati interaksi anaknya dengan teman-teman sekolahnya dan menemukan bahwa anaknya tidak memiliki ketertarikan bersosialisasi.


2. Cara Berekspresi

Jika anak-anak pada umumnya mampu mengekspresikan rasa ketertarikan pada sebuah benda, tidak pada anak-anak autis. Mereka kesulitan mengomunikasikan hal-hal atau benda yang mereka suka, seperti menunjuk dengan telunjuk ke arah benda tersebut. Layaknya anak Dian yang kerap menggunakan jarinya sebagai alat untuk mengekspresikan rasa suka.


3. Cara Eye Contact

Anak-anak pengidap autisme tidak mampu bertukar pandang. Umumnya mereka hanya melakukan eye contact tidak lebih dari 2 detik. Gejala ini ditunjukkan oleh anak di bawah umur 12 bulan. Selain itu, mereka juga tidak mampu memahami perasaan orang lain sehingga sulit menjalin koneksi. Indikasi ini juga dirasakan Dian pada anaknya. Ia berbagi di hadapan publik saat acara Spekix berlangsung tentang keinginannya bertukar kontak mata dengan anak laki-lakinya tersebut, layaknya kebanyakan ibu dan anak.


4. Cara Mencontoh Perilaku

Anak dikenal mudah mencontoh perilaku orang tuanya. Mulai dari tutur bicara, mimik, hingga cara bergerak. Namun, tidak pada anak-anak pengidap autisme. Mereka tidak meniru perilaku orang tuanya. Dalam konteks meniru, tidak hanya persoalan perilaku saja, anak autis juga tidak mampu menirukan sebuah objek gambar atau bentuk tertentu.


5. Cara Berkomunikasi

Sulit berkomunikasi merupakan salah satu ciri anak autis. Baik komunikasi secara verbal maupun non-verbal. Tak hanya itu, anak autis juga umumnya tidak merespon panggilan orang lain. Saat memasuki usia 2 tahun, anak dengan sindrom autisme menunjukkan keterlambatan dalam berkomunikasi. Saat mengomunikasikan sesuatu, anak-anak autis cenderung memiliki intonasi yang datar dan kerap mengulang kata-kata yang sama. Ciri ini juga terjadi pada anak Dian.


6. Cara Memperhatikan

Anak-anak autis dikenal memiliki kekurangan pada bagian motoriknya, termasuk kesulitan melihat sebuah arah. Umumnya, anak-anak mudah melihat ke sebuah arah yang ditunjukkan oleh orang tuanya dan cenderung mudah memperhatikan. Indikasi ini juga dirasakan oleh Dian pada anaknya. 


7. Cara Bermain

Selain kesulitan berinteraksi dengan orang lain, anak-anak autis umumnya dikenal senang bermain sendiri dengan mainannya. Mereka kerap melakukan kegiatan yang sama. Anak Dian pun mengalami hal tersebut. Seringkali ia mendapati anaknya bermain sendiri dan melakukan satu jenis permainan dalam kurun waktu yang lama tanpa distraksi.


Ketujuh ciri di atas dijelaskan secara komprehensif pada acara Special Kids Expo 2019. Dian Sastrowardoyo selaku pembicara dan ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus, mengajak dan mendorong masyarakat Indonesia untuk lebih mengenali sindrom autisme. Terutama kepada para orang tua agar lebih peka terhadap perkembangan anak sedari bayi, agar jika benar ada indikasi autis, bisa diintervensi sejak dini.

Karena jika diintervensi sejak dini, terdapat kemungkinan untuk bisa beraktivitas dan sekolah di tempat yang sama dengan anak-anak normal tanpa bantuan guru pendamping atau shadow teacher. Walau Dian sendiri mengakui tiap anak memiliki kasus yang berbeda, namun ia percaya bahwa intervensi dini itu perlu, karena Dian merasakan sendiri buah keputusannya bertahun-tahun silam. Kini, anaknya yang menduduki bangku sekolah dasar kelas 3 bisa lancar berinteraksi dengan orang lain, mengenyam pendidikan di sekolah umum tanpa guru pendamping, serta telah berhenti terapi sejak kelas 1 SD.



(Foto: Courtesy of @spekix.id)