Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Memperjuangkan Eksistensi Bangsa Melalui Fashion

Sekelumit cerita di balik perjuangan para pelaku industri fashion dengan spirit mengangkat kekayaan wastra Indonesia.

Memperjuangkan Eksistensi Bangsa Melalui Fashion

Layaknya roda kehidupan, dunia fashion memiliki dinamikanya tersendiri, baik dalam skala domestik maupun global. Industri fashion Indonesia sendiri, yang selalu disebut “tengah berkembang” dari masa ke masa, rasanya masih laksana jalan di tempat.

Patut diakui memang, dalam satu dasawarsa terakhir desainer maupun label lokal tumbuh pesat baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Namun pertanyaannya, seberapa banyak yang mendedikasikan karyanya sebagai bentuk representasi identitas bangsa dengan menggunakan kekayaan warisan budaya yang diolah dalam fashion? Dan seberapa banyak yang langgeng menjalankan misi tersebut?

Sepanjang perjalanannya, Indonesia telah kehilangan sejumlah label yang (pernah) berjuang untuk mengekspos keindahan kain tradisional melalui karya-karya yang ditawarkannya. Sungguh memprihatinkan ketika sebuah label berjuang untuk mengangkat sekaligus melestarikan kebudayaan bangsa melalui fashion, namun tidak disambut dengan baik oleh pasar sendiri.

Sebagai contoh, mengapa sulit sekali menjual produk ready to wear dengan material batik tulis atau batik cap, padahal justru kedua teknik itulah yang menjadikan selembar kain batik begitu berharga.

Mayoritas pasar belum bisa mengapresiasi kain tradisional karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni mengenai proses yang terjadi di baliknya. Sehingga, pemikiran seperti “Buat apa mengeluarkan uang sekian juta hanya untuk baju batik?” pun tak terhindarkan.

Dan perkara seperti ini tidak hanya terjadi pada batik saja, namun juga material yang diolah dengan teknik tradisional lainnya seperti tenun hingga tie dye ala Indonesia.

Terdapat banyak faktor yang membuat brand lokal mengalami kesulitan untuk bertahan dengan idealisme mereka masing-masing; dengan membawa satu spirit yang sama yakni mengangkat potensi estetis kain Indonesia. Modal produksi menjadi salah satu problematika klasik yang dihadapi oleh pelaku industri retail fashion dengan material kain tradisional.

Kendati bagi sebagian orang kain tradisional terlihat sepele, namun justru ongkos produksinyalah yang menjadikan sepotong busana ready to wear bermaterial kain tradisional memiliki nominal yang tinggi.

“Ongkos produksi batik tulis atau batik cap berbeda jauh dengan batik print, dan pasar cenderung memilih untuk membeli batik print karena harganya yang jauh lebih murah. Di sinilah kesulitan yang saya alami saat menjalani label TikPrive,” ungkap Iwet Ramadhan jujur.

Selain itu, Iwet juga mengemukakan bahwa dukungan pemerintah dalam hal pemudahan pencairan modal untuk para pelaku industri retail fashion Tanah Air dirasa akan lebih tepat guna dibandingkan dengan mengeluarkan anggaran untuk fashion show di luar negeri.

Urgensi untuk membesarkan industri fashion di tanah sendiri dapat direalisasikan dengan cara tersebut, karena pada kenyataannya desainer masih kesulitan dalam hal sourcing material kain tradisional dan para pengrajin tidak memiliki akses untuk menjual hasil karyanya ke tangan ketiga untuk diolah menjadi busana siap pakai.

Perlu ada badan yang mampu menjadi rantai penghubung antara pengrajin dengan desainer agar ekosistem industri kreatif dapat terbangun secara sehat. Hal ini akan berdampak pada kelanggengan industri itu sendiri, karena pada dasarnya kain Indonesia tidak akan pernah habis untuk dieksplorasi dan diolah secara kreatif.

Bantuan investor memang dapat menjadi salah satu solusi untuk masalah ongkos produksi dan sourcing material, namun berapa banyak label yang memiliki kemewahan ini? Tidak banyak, tentu saja.

Toko Sembilan sempat menjadi fenomena industri fashion Tanah Air di akhir tahun 2000-an berkat koleksi ready to wear berciri khas Indonesia yang digarap serius secara teknis dan estetis oleh perancang berbasis Bali, Irsan.

Sayangnya, usia Toko Sembilan tidak panjang. Lagi-lagi tidak adanya investor menjadi kendala bagi label ready to wear lokal untuk dapat bertahan.

Secara logis, desainer adalah otak penggerak dalam ranah estetika produk yang akan dipasarkan. Dan idealnya, bukan berarti seorang desainer juga harus mampu menjalankan sendiri keseluruhan bisnis yang dimilikinya.

“Saya ini seniman, maka ketika saya tak lagi memiliki investor, mau tidak mau Toko Sembilan harus tutup. Namun toh dari sana saya dapat banyak pembelajaran berharga ke depannya, yakni bagaimana bisa memproduksi barang berkualitas dengan harga yang sangat terjangkau. Baju murah adalah tantangan; apakah klien puas, dan apakah barangnya berguna dan bisa dipakai bertahun-tahun lamanya,” jelas Irsan.

Faktor yang menentukan sustainability suatu label juga tak terlepas dari kualitas produk yang dijual itu sendiri. Apakah konsep yang ditawarkan menarik perhatian pasar, dibutuhkan oleh pasar, dan relevan dengan zaman.

Karena salah satu keunikan produk bermaterial tradisional terletak pada spirit, jiwa, ada kisah yang tertoreh di selembar kain tersebut, sesederhana karena ia dibuat oleh tangan manusia dalam jangka waktu yang lama. Maka produk yang akan sustain adalah produk yang bernyawa karena dikerjakan dengan hati, dan memiliki filosofinya sendiri.

“Saya percaya kalau produknya memang baik dan punya soul, pasti akan banyak yang mencari dan akan terus dicari. Dan (ketika sebuah label menciptakan produk bertemakan kekayaan Tanah Air), karyanya tidak boleh nanggung!” tutur Obin Komara lugas.

Hal tersebut turut diamini oleh Lulu Lutfi Labibi, yang juga percaya bahwa suatu produk akan semakin bernilai ketika ada cerita mengenai segenap proses yang terjadi di baliknya.

“Jujur dengan banyaknya plagiarisme yang dilakukan oleh sesama pelaku industri kreatif Indonesia, saya sempat gelisah dibuatnya. Namun bagi saya, proses kreatif tidak boleh dilakukan dalam kondisi tertekan karena itu akan mempengaruhi karya-karya ke depannya.”

Di tengah perputaran arus pasar yang begitu kencang, plagiarisme jelas tidak dapat dihindari terutama di industri kreatif. Aksi melawan plagiarisme pun terdengar percuma, karena kuantitas pelaku industri kreatif yang memproduksi busana ready to wear bermaterial kain tradisional—meski dengan kualitas yang seadanya—begitu merajalela dan ironisnya mereka telah memiliki pasarnya sendiri yang menyambutnya dengan penuh suka cita.

Di situlah loyalitas konsumen mengambil peran penting. Ini juga menjadi salah satu faktor yang menentukan sebuah brand lokal dapat disebut well-established, yakni ketika suatu label mampu membuat pemakainya merasa bahagia dan bangga mengenakan produk bertemakan Indonesia yang dilansirnya, kemudian berhasrat dan bergerak untuk kembali membeli produk lainnya, dan label tersebut kian sukses ketika khalayak mampu mengidentifikasi suatu produk dengan nama labelnya.

Lagi-lagi, faktor psikologis semacam inilah yang turut mempengaruhi kelanggengan suatu brand. Ketika pasar sendiri tidak loyal, tidak cinta, dan tidak dapat mengapresiasi produk lokal, bagaimana mungkin industri ini dapat bertahan dengan sendirinya?

Berbicara tentang faktor psikologis, ada sekelumit pola pikir yang perlu diperbaiki mengenai cara pandang pasar terhadap produk ready to wear berbahan kain tradisional.

Pertama, khalayak harus mampu untuk aware sekaligus memahami bentuk edukasi secara populer untuk memperkenalkan kekayaan kain tradisional, sehingga ia tidak salah kaprah dengan jenis-jenis kain tradisional yang dikenakannya dan tidak sekadar 'memakai' saja.

Kedua, mengenakan batik atau songket tidak melulu harus dikenakan pada kesempatan formal saja. Itulah gunanya kehadiran label-label yang menawarkan koleksi ready to wear dengan menggunakan kain tradisional, agar dapat dipakai diberbagai kesempatan baik formal maupun kasual.

Ketiga, rancangan busana dengan material kain tradisional juga tidak selalu harus berhias payet atau kristal agar terlihat mewah dan naik kelas. Rancangan kontemporer akan mengelevasi kain tradisional dengan selera internasional.

Keempat, ada proses panjang demi menghasilkan selembar kain yang kemudian diolah menjadi sepotong pakaian. Dengan memahami keempat poin tersebut saja, seyogyanya individu lebih mampu mengapresiasi hasil karya lokal yang dibuat dengan material lokal dan dari pekerja lokal.

 

(Foto utama: Stanley Allan - PPF Photo. Model: Michelle Agnes - Wynn Models. Makeup: Ike Riani Hartono. Hair: Kiefer Lippens. Busana oleh Bin House.

Foto dalam artikel: Rakhmat Hidayat. Model: Anna B - Wynn Models. Makeup & hair: Ike Riani Hartono. Busana oleh Denny Wirawan. Retoucher: Reno Priyono)