Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Siapkah Jika Anak Anda Menjadi Selebriti Digital Cilik?

Orang tua perlu memperhatikan beberapa aspek positif dan negatif.

Siapkah Jika Anak Anda Menjadi Selebriti Digital Cilik?

Meraih ketenaran sejak usia dini bukanlah hal yang mustahil. Boleh dibilang di era modern seperti sekarang ini proses mengorbitkan seorang anak agar dikenal oleh publik relatif mudah dan kilat. Tak seperti dahulu, seorang anak harus melewati serangkaian proses demi meniti karier di dunia hiburan mulai dari casting, rajin ikut kegiatan di sanggar, dan mengikuti kontes.

Fenomena selebriti digital cilik tentu membawa arus pro dan kontra. Di satu sisi, mengunggah foto atau video anak ke akun media sosial mendapatkan respon positif dari publik, dan terbukti dapat menyuntikkan rasa gembira, bangga, serta percaya diri bagi pemilik akun - baik anak maupun orang tua. Bila anak sudah melewati masa prasekolah, ia sudah mampu menangkap makna direct feedback berupa likes maupun komentar yang didapat. 

Menjaring respon positif dari netizen dapat membuat anak merasa diterima di masyarakat dan hal ini berkontribusi dalam membangun self-esteem mereka. Namun orang tua juga perlu menyadari bahwa tampil populer di dunia maya juga bisa membawa gelombang dampak negatif yang mempengaruhi perkembangan anak nantinya. Tidak semua netizen mampu bersikap positif dalam menanggapi berbagai jenis konten media sosial. Kecenderungan untuk melontarkan respons negatif yang banyak dilakukan oleh para netizen bisa membahayakan anak sebagai selebriti digital. 

"Ketika seorang anak merasa bahwa ia memiliki banyak haters atau bahkan diserang oleh haters, ia dapat mengalami kebingungan dalam bersikap, dan bisa mengalami ketakutan juga depresi. Demi memperoleh likes, terkadang anak juga berusaha keras untuk mengikuti apa yang disukai oleh masyarakat (misalnya mengecek foto atau video apa yang mendapatkan banyak likes), lalu ia merasa takut keluar dari zona tersebut. Akhirnya konsep diri anak menjadi terbatas pada apa yang dibentuk oleh media sosialnya," papar psikolog anak, Anna Surti Ariani.

Di sinilah peran orang tua sebagai sosok yang melindungi dan membimbing anak di ranah digital menjadi kian penting. Pertama, orang tua perlu melakukan kurasi terhadap konten yang akan ditampilkan di media sosial, karena konten-konten tersebut secara tidak langsung mendefinisikan citra anak itu sendiri. Apabila anak ingin membuat konten sendiri, sebaiknya tetap melakukan diskusi bersama orang tua untuk menentukan standar yang boleh dan pantas untuk mereka unggah, serta konsekuensi apa saja yang dapat muncul-termasuk risiko mendapat respon negatif dan bagaimana cara menanggapinya. 

Lantas konten seperti apa yang ideal untuk akun sosial media anak? Anna menjelaskan bahwa idealnya konten media sosial tetap memunculkan sisi murni sebagai seorang anak, dengan segenap kelucuan dan kepintarannya serta momen-momen ketika anak tengah menunjukkan sisi yang kurang menyenangkan dan orang tua mampu menawarkan solusinya.

"Bila linimasa akun media sosial terlalu sempurna, efek jangka panjangnya dapat membuat anak takut untuk keluar dari zona kesempurnaan tersebut. Hal seperti itu bisa mengganggu kepribadiannya kelak," jelas Anna. 

Contoh lain konten kurang tepat adalah ketika orang tua menjadikan anak untuk bahan gurauan yang melewati batas. Bagaimana pun juga, ketika akun sosial media anak dikendalikan oleh orang tua, sebaiknya orang tua tetap sensitif, considerate, dan menjaga perasaan serta citra anak lewat konten yang mereka unggah. Karena pada akhirnya, segenap konsekuensi yang dihasilkan akan berimbas langsung pada hidup sang anak.

Selain itu, orang tua juga butuh mengontrol konten sosial media anak agar tidak oversharing. Baik anak maupun orang tua tidak perlu membuka terlalu banyak informasi lewat media sosial, misalnya membeberkan nama dan alamat. Contoh lain tindak oversharing meliputi unggahan foto dan video kegiatan anak kemudian mencantumkan lokasi secara real time. Aksi tersebut memang terlihat sederhana, namun dapat berpotensi memancing tindak kejahatan pada anak, mulai dari penculikan hingga pencurian gambar oleh situs pedofil.

Mendulang popularitas lewat internet hingga mampu mendatangkan keuntungan material memang terlihat menggiurkan. Namun sebaiknya orang tua tidak lantas menjadikan popularitas anak di ranah digital sebagai sumber mata pencaharian utama. 

"Pada dasarnya, fungsi parenting di sini adalah untuk melihat apa yang dibutuhkan anak kemudian orang tua memfasilitasinya. Dengan fenomena berkembangnya selebriti digital cilik ini, orang tua harus mampu melihat tren apa yang sedang terjadi, kesempatan apa yang akan muncul, kemudian membuat perencanaan dari sana, dan tetap fleksibel dengan kemungkinan terjadinya perubahan yang mengharuskan orang tua mengubah perencanaan awal mereka. Ini adalah life skill yang penting dimiliki baik oleh para orang tua maupun anak," jelas Tari Sandjojo, psikolog sekaligus Academic Director Sekolah Cikal.

Terlepas dari segenap privileges yang diraup sebagai selebriti digital cilik, seyogianya orang tua tak memanjakan anak dengan instant success dan instant reward yang didapatkan lewat media sosial. Karena pada akhirnya, anak juga perlu belajar tentang pentingnya sebuah proses untuk mencapai sesuatu agar ia dapat menghargai pencapaian tersebut, dan segala hal yang bersifat instan belum tentu berkelanjutan dalam jangka panjang.

Sepatutnya, akun sosial media anak dijadikan sebagai bentuk kolaborasi sehat antara orang tua dan anak. Segala profit yang didapatkan dari sana adalah bonus yang bisa dinikmati bersama-sama, bukan menjadi tujuan utama diluncurkannya sang buah hati ke rimba digital.


(Penulis: Chekka Riesca, disadur dari Harper's Bazaar edisi November 2018. Foto: Courtesy of lightfieldstudios©123RF.com)