Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

10 Karya dari 10 Seniman Ternama di Art Jakarta 2018

Ini adalah tahun ke-10 penyelenggaraan Art Jakarta, ada keistimewaan apa di dalamnya?

10 Karya dari 10 Seniman Ternama di Art Jakarta 2018

Sudahkah Anda mendengar tentang perhelatan seni Art Jakarta 2018 yang akan digelar sesaat lagi? Di tanggal 2 hingga 5 Agustus mendatang, grand ballroom The Ritz-Carlton Jakarta, Pacific Place akan dipenuhi ribuan karya seni berupa lukisan, instalasi, dan patung dari seluruh penjuru dunia. Tentunya jika Anda mencari hal yang berbeda di ibu kota pada bulan Agustus, gelaran ini tak boleh dilewatkan!

Selain ribuan karya seniman lokal dan internasional tersebut, masih ada banyak alasan mengapa Anda harus mengunjungi Art Jakarta 2018. Karena kali ini merupakan tahun ke-10 penyelenggaraannya, sudah dapat dipastikan akan lebih banyak kejutan yang disajikan dalam pameran. Seperti 10 instalasi seni bertajuk 10 for 10 yang dikerjakan oleh 10 seniman ternama Tanah Air untuk menghargai konsistensi Art Jakarta dalam memperkenalkan seni dunia ke tengah masyarakat Indonesia.

Penasaran karya siapa saja yang akan dipamerkan? Simak penelusuran Bazaar berikut!

1. Eddy Susanto

Karya: The Irony of Ruralism

Sembilan panel kanvas dan pagar baja, menggunakan medium acrylic dan drawing pen.

Pelukis asal Yogyakarta ini mengobservasi jika dalam 10 tahun terakhir, banyak penduduk yang membeli tanah dan properti di daerah pedesaan hanya demi investasi. Kadang, rumah tersebut tidak ditempati atau penghuninya membawa budaya perkotaan yang mengurangi interaksi antar penduduk. Tingkat keramahan penduduk pedesaan yang selama ini terkenal luas telah jauh berkurang, membuat arti tinggal di daerah pedesaan menjadi hilang karena tak ada lagi kata gotong royong.

The Irony of Ruralism

2. Yani Mariani

Karya: A Wind Streak (Angin Raya), Full Moon Croon (Senandung Purnama), The Wind Melodies for the Stone (Nyanyi Angin Kepada Batu), Kidung Hening Taru Raya

Patung berbahan polyresin, copper plate, brass plate, dan stone powder.

Sejak muda, Yani Mariani memiliki kecintaan terhadap seni patung, khususnya menggunakan batu. Menurutnya, setiap batu merepresentasikan artinya sendiri, unik dan tak akan pernah sama. Ia menggunakan keindahan ini untuk menggambarkan kekuasaan sang pencipta lewat bentuk magis pohon, angin, dan bulan. Membuat karyanya sebagai bentuk berserah diri pada yang Maha Kuasa.

Nyanyi Angin Kepada Batu

Senandung Purnama

 

Kidung Hening Taru Raya

3. Uji 'Hahan' Handoko

Karya: Standing Up in the Market Barrels

Patung berbahan polyester resin dengan teknik auto paint.

Namanya sudah sering terdengar di dunia seni kontemporer karena keunikan menyatukan realisme antara high art dan low art. Meski sering kali Hahan mengambil referensi jenaka dari kejadian yang terjadi dalam dunia modern seperti musik dan film, kali ini ia menyampaikan kritiknya pada lingkungan pasar seni rupa yang berisi institusi termasuk galeri, balai lelang, dan kurator yang memberi label harga pada pelaku seni.

Standing Up in the Market Barrels

4. Heri Dono

Karya: Moon Racer

Patung dari media campuran dan fiberglass.

Siapa yang tak mengenal namanya, perupa ini bahkan telah mengharumkan nama Indonesia di ajang bergengsi Venice Biennale. Di Art Jakarta 2018, Heri akan memamerkan salah satu karyanya yang paling ikonis. Menceritakan tentang masa Perang Dunia ke-2 saat Jepang mendonasikan bemo sebagai salah satu transportasi publik di Indonesia. Hal ini membuat negara kita tak terbiasa memproduksi teknologi sendiri, melainkan mendaur ulang teknologi luar.

Moon Racer

5. Kemal Ezedine

Karya: Square Circle Series

Kanvas dengan media campuran.

Setelah memutuskan untuk tinggal dan bekerja di Bali, karyanya kini banyak terpengaruh budaya Pulau Dewata. Ia juga merupakan salah satu pendiri Neo Pitamaha, sebuah grup yang berekspresi melalui lukisan dan gambar-gambar dengan infusi budaya Bali. Untuk Art Jakarta 2018, Kemal mengetengahkan isu larangan menggambar sosok makhluk hidup dalam seni Islam. Ia mencoba memunculkan jembatan antara abstraksi dan sejarah.

Untitled

Untitled

Untitled

6. Agus Suwage

Karya: Untitled

Ia telah berpartisipasi dalam lebih dari 150 pameran di seluruh dunia. Karyanya sering kali bernuansa sindiran pada pandangan tertentu dalam budaya, agama, maupun arena politik. Seperti kali ini, Agus menyampaikan ketertarikannya pada lingkaran kehidupan dan kematian. Sebagai seorang mualaf, pandangan Agus yang memiliki unsur multi-kultural tentu akan membuat Anda penasaran.

Untitled

7. Theresia Sitompul

Karya: Give Thanks

Linocut print pada kain.

Tere adalah salah satu seniman Tanah Air yang memilih proses printmaking sebagai identitasnya. Menurutnya, dunia printmaking ialah suatu proses kejujuran, ia menggunakan ingatannya sebagai inspirasi dalam berkarya. Untuk 10 for 10, Tere menyampaikan karya yang bermaksud doa dan rasa terima kasih tak terhingga, seperti panjang kain yang digunakannya.

8. Cinanti Astria Johansjah

Karya: Sang Liyan & Sang Liyan

Pernis otomotif pada celengan berbahan tanah liat.

Ada ketentraman yang dirasakan Keni setiap kali membuat karya. Mengingatkan pada pengalamannya saat melihat salah satu lukisan Affandi di sebuah museum. Ia sering kali menggunakan karakter wanita atau makhluk hidup lainnya sebagai medium berkarya. Seperti untuk Art Jakarta 2018, Anda akan menyaksikkan bagaimana warna-warna kontras dipadukan di atas tanah liat yang sebelumnya terkesan membosankan.

Sang Liyan & Sang Liyan

Sang Liyan & Sang Liyan

9. J. Aryadhitya Pramuhendra

Karya: St. John

Karya berbentuk neon box.

Anda mungkin mengenal karyanya dari figur-figur kotak hitam-putih bergambarkan domba. Lukisannya menggunakan arang, kemudian dari sisi belakang disorot menggunakan lampu hingga menjadi sebuah neon box. Masih menggunakan karakter domba yang dianggap simbol suci dalam agama Katolik, dalam 10 for 10 akan ada seri baru karyanya yang menggambarkan perjalanan spiritual. 

St. John

10. Syagini Ratna Wulan

Karya: 389-696-104-554

Plat stainless steel dengan lacquer paint dan resin.

Dalam pameran solo sebelumnya, Syagini membahas isu persepsi dan kesadaran. Ia yang juga merupakan seorang desainer furnitur dan interior kemudian melanjutkan visinya dalam lukisan yang dipamerkan di Art Jakarta 2018. Kali ini mengenai responnya akan chromophobia--ketakutan akan penggunaan warna--yang mungkin datang karena keengganan perupa untuk kembali ke abstraksi formal. Ia mengartikan warna sebagai misteri yang menarik dan tak memiliki nama.

389-696-104-554

Bagaimana? Apakah Anda semakin penasaran? Kapan lagi menyaksikkan 10 seniman ternama di atas sekaligus dalam satu perhelatan akbar? Jadi jangan lupa menghadiri Art Jakarta 2018 mulai hari Jumat besok! Anda bisa mulai membeli tiketnya di sini.

Sampai jumpa di pameran!

UPDATE 

ART JAKARTA 2022

1. Nyoman Nuarta (Linda Gallery)

Karya: Poco Loco

Nyoman Nuarta, adalah seniman kelahiran Tabanan pada November 1951 silam. Dalam beberapa tahun terakhir, namanya terkenal karena menciptakan banyak karya dan membangun sejumlah patung monumental yang dapat ditemui di kota-kota di Indonesia. 

Poco Loco atau yang juga disebut The Train of Wishes dibuat dalam formasi menaik lantaran sang seniman melalui karya tersebut berusaha mengirimkan pesan bagi para penikmat karya untuk bergerak maju dalam kehidupan. 

Poco Loco


2. Ashley Bickerton (Gajah Gallery)

Karya: Double Helix Hammerhead, 2022 

Seniman yang berasal dari Amerika Serikat, Ashley Bickerton menampilkan dua patung perunggu berjudul “Double Helix Hammerhead”. Gajah Gallery sendiri memiliki ruang fisik di Singapura dan Indonesia. 'Double Helix Hammerhead' (2022) menjadi karya seni yang mengeksplorasi perspektif baru tentang motif hiu.  

Double Helix Hammerhead


3. Heri Dono (Srisasanti Gallery)

Karya : Political Clown

Seniman kontemporer yakni Heri Dono, turut serta dalam pameran pameran seni rupa bertajuk Art Jakarta 2022. Ia membawa karya instalasi yang judulnya Political Clown yang dibuat pada tahun 1999.

Melalui karya Political Clown ini, Heri ingin menggambarkan bahwa para politisi di era sebelum reformasi seperti badut-badut yang tidak memiliki opini karena semua sudah didikte oleh kekuasaan yang ada sebelum era reformasi. 

Political Clown

4. Jompet Kuswidananto (ISA Art Gallery)

Karya : Long Shadow #1

Perupa asal Yogyakarta, Jompet Kuswidananto, menampilkan dua karya seni instalasi di area luar tenda A yang dipresentasikan oleh ISA Art and Design. 

Dua karyanya tersebut berbentuk seperti rumah dari perkampungan kumuh yang terbuat dari seng. Atap maupun dinding rumah sama-sama terbuat dari seng. Di dalam rumah yang berjudul Love is a Many Splendored Thing #2 (2021), ada sebuah piano rusak yang tuts hingga organ piano lainnya berantakan. Di atasnya ada candelier yang dibuat sengaja jatuh di atas piano.

Long Shadow #1

5. Sang Soo Lee (Gallery YEH)

Karya: Flamingo 

Menilik makna karya seni dari burung flamingo yang terlihat seperti bentuk spiral, Sang Soo-Lee rupanya ingin menciptakan persepsi gambaran 2 dimensi ke dalam bentuk 3 dimensi melalui 3 ekor Flamingo yang sedang ‘mengembara’ secara damai melalui gerakan-gerakan yang dibentuk dari sebuah garis minimalis. 

Flamingo

6. Handiwirman Saputra (Nadi Gallery)

Karya: Tak Berakar Tak Berpucuk No. 8 / No Roots No Shoots No. 8 2019 

Handiwirman Saputra menjelaskan bahwa karya ini menggambarkan bentuk ‘toleransi’ antara benda-benda saat banjir melanda studionya di Yogyakarta, mengekspresikan ide bahwa benda mati maupun benda hidup tidak dapat tercipta dengan sendirinya, kemudian seluruh benda itu saling terhubung dalam ikatan reaksi dan kemungkinan- kemungkinan yang rumit. 

Tak Berakar Tak Berpucuk No. 8 / No Roots No Shoots No. 8

7. Tempa (Rachel Gallery)

Karya: Autentik Domestik

Bentuk karyanya sendiri menjuntai seperti tirai sepanjang lima meter. Karya ini dibuat di awal tahun ini untuk proyek bersama seniman-seniman Jogja lainnya. Tema besarnya adalah merespons catatan sejarah tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 di Jogja, yang melatarbelakangi Agresi Militer Belanda II sekitar akhir tahun 1948. Material yang dipakai pada karya ini meliputi kanvas, dan patchwork kain serbet, yang mana dari zaman dulu sampai sekarang warnanya tetap sama itu, yaitu merah kotak-kotak.

Autentik Domestik

8. Mulyana (Art Porters Gallery)

Karya: Coral Luna 

Salah satunya karya ikonis Art Jakarta hadir dari Mulyana. Seniman asal Bandung yang kini menetap di Yogyakarta, Karyanya berupa panorama coral bawah laut yang dibuat dengan teknik rajutan. Uniknya, pada seri coral kali ini, Mulyana juga memakai material plastik putih sebagai ‘benang’ untuk merajut karyanya. 

Coral Luna

9. Nindityo Adipurnomo (D Gallerie)

Karya: Gender Artefact 2nd

Adalah proyek seni berdasarkan ide 'Gender Artefact'. Pada tahun 2016 Nindityo menyadari bahwa kita semua, perlahan tapi pasti sedang memasuki peradaban non-gender. Karya seni dalam seri ini terdiri dari empat objek berskala besar yang belum teridentifikasi penggunaannya, tetapi dapat dikenali dengan jelas sebagai objek yang menunjukkan 'identitas gender' mereka. Karya ini mengajak penikmatnya untuk secara sukarela membuang benda sehari-hari yang dianggap masih memiliki ciri gender yang erat. Buang mereka atau simpan di dalam saat Anda melihatnya. 

Gender Artefact 2nd

10. Dedy Sufriadi (Artemis Art)

Karya: Membangun Literasi Indonesia Baru / Building A New Indonesian Literacy

Dedy adalah seorang seniman yang sangat senang membaca. Ia menggunakan buku-buku sebagai sumber inspirasi dalam beberapa waktu guna mengangkat isu-isu literasi yang sangat mendesak di dalam negeri. Sang seniman membangun karya instalasi berjudul Membangun Literasi Indonesia Baru guna menyampaikan ide-ide mengenai hubungan antara pembangunan bangsa dan literasi.

Membangun Literasi Indonesia Baru / Building A New Indonesian Literacy

(Foto: Courtesy of Art Jakarta 2018, Art Jakarta 2022)