Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Alasan Marissa Anita Tak Memiliki Akun Media Sosial dan Kenikmatan yang Ia Miliki Sekarang

"Bahwa sejatinya manusia harus memiliki otoritas terhadap teknologi dan bukan malah sebaliknya."

Alasan Marissa Anita Tak Memiliki Akun Media Sosial dan Kenikmatan yang Ia Miliki Sekarang
Brunch With Dave Hendrik

Di era digital dan perkembangan teknologi yang sangat pesat ini, hampir tidak ada manusia yang di hidup tanpa memiliki sosial media. Dapat dikatakan sosial media telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia. Walalupun media sosial memiliki segudang manfaat positif bagi kehidupan manusia (seperti salah satunya adalah dapat mendekatkan yang jauh), namun ada sisi lain yang sayangnya tak jarang kita sadari dapat (atau bahkan sudah namun tidak Anda sadari) membawa efek negatif kepada kesehatan manusia, baik itu jasmani maupun secara mental. 

Melihat kenyataan ini, pada seri Brunch With Dave Hendrik kali ini mengundang Marissa Anita, seorang jurnalis yang kini juga aktif menjadi seorang aktris. Yang faktanya secara mengejutkan ia tidak memiliki akun sosial media! Lalu bagaimana kisah perjalanan seorang Marissa ketika akhirnya ia memutuskan untuk "pensiun" dari dunia media sosial?

Mari simak perbincangan menarik dan penuh inspirasi di bawah ini:

“Sepertinya Marissa adalah mungkin orang pertama yang aku kenal di tahun 2020, di abad ini, di dekade ini yang tidak punya sosial media, aku langsung tanya sama kamu ya, buat elo memutuskan untuk tidak punya sosial media?” tanya Dave untuk menjawab rasa penasarannya dan para penonton.


“Oke, mungkin gue jelasin pakai timeline aja kali ya, elo ingat tidak waktu di tahun 2014 kita semua heboh main Path, karena Instagram kan belum gede banget, tapi gue pada saat itu sudah merasa terganggu ketika saat gue main Path kok ada pilihan hati atau thumbs up, dan gue merasakan impacts-nya like atau hati atau apa pun itu terhadap mental gue. Jadi gue merasa kalau gue posting yang ini, kemarin gue dapet hati, kalau gue posting yang ini, kok tidak dapat hati ya?

Gue jadi mengubah perilaku gue, kalau gitu gue posting yang gini-gini aja deh biar mendapatkan hati karena memang manusia itu kan ingin disukai, dan rasanya enak gitu kalau disukai, tapi kalau proposinya sudah kelebihan jadi tidak sehat kan Dave?

Akhirnya gue juga mikir gini, ini arti hati atau likes itu apa ya kalau gue tidak pernah bertemu dengan teman gue yang ini yang gue kasih hati dan sebagainya. For me, it means nothing gitu kan, ya sudah akhirnya gue memutuskan untuk menutup pintu, dan kalau gue kangen sama temen, ya gue hubungin mereka, gue ajak ngopi, ketemu kayak kopdar (kopi darat). And I felt that was way more meaningful.

Setelah itu timeline-nya maju ya, 2016 gue dapat scholarship untuk sekolah lagi, pergilah gue sekolah ke Inggris, di Inggris itu gue ambil jurusan digital media and society. Nah, di situlah gue belajar oh ternyata digital media dan segala isinya itu menarik ya. Selama ini kan kita hanya familier dengan sisi yang ingar-bingar tapi ternyata ada sisi gelapnya dan gue pelajari itu dan salah satunya adalah impact dari teknologi internet, salah satunya adalah sosial media terhadap perilaku dan pikiran manusia atau psikologi manusia. Dan gue baca buku Digital Minimalism karya Cal Newport, baca deh judul kecilnya,” pinta Marissa kepada Dave.

Choosing a focused life in a noisy world,” baca Dave.


I don’t have to even explain! Jelas kan? Jadi sejak gue berhenti sosial media gue jadi lebih fokus pikirannya, kalau kerja itu jadi lebih dalam, lebih detail karena gue tidak distract dengan hal lain seperti sosial media, gitu sih Dave,” jelasnya.


Okay, let’s back off sedikit ke apa yang tadi Marissa bilang elo pelajari saat kuliah itu bahwa ada downside-nya dari perkembangan teknologi yang sebegitu heboh, apa sih sebetulnya downside-nya? Boleh cerita tidak buat kita?” minta Dave.

Mendengar pertanyaan Dave, Marissa pun mulai memaparkan temuannya dari hasil pengalaman yang ia pernah jalani. “Salah satunya mungkin yang terasa sekali untuk multigenerasi, apalagi sekarang generasi millenial dan generasi Z adalah mental health issue. Misalnya deh kita ngomongin Instagram aja, dari Instagram itu manusia menunjukkan perilaku yang sebetulnya sebelum Instagram ada itu suda ada. Ada satu konsep yang dikeluarkan salah satu sosiolog namanya Erving Goffman bahwa manusia itu selalu ingin menunjukkan sisi terbaiknya atau ideal self, which is nothing wrong, tidak ada salahnya, just the way we are.

Tapi ketika masuk ke sosial media, yang basisnya visual seperti Instagram contohnya, semua di posting jadi bagus-bagus banget kan, pakai filter, kulit mulus, tapi itu kan membuat yang melihat setiap hari, misalnya kita terekspos kepada kesempurnaan  yang palsu itu setiap hari, lama-lama kita akan jadi membandingkan hidup orang itu, bagaimana orang itu dengan diri kita sendiri. Terus akhirnya kita menemukan banyak sekali kekurangan diri yang tidak kita sukai.

Itu mengganggu loh secara mental, kalau mental elo sudah terganggu seperti itu mana bisa elo bisa menjadi manusia yang produktif. Jadi teknologi kok jadi mengatur cara kita berperikalu? Cara kita merasa? Dan gue tidak suka dengan hal ini, bahwa manusia harus punya otonomi, otoritas terhadap teknologi bukan malah sebaliknya,” bagi Marissa.

“Apa yang paling elo rasakan dari elo, Marissa semenjak sudah tidak memiliki account social media lagi?” Dave kembali bertanya.

Gue jadi lebih bisa fokus dan gue jadi lebih bisa tahu sebenarnya gue ini sukanya apa. Jadi ada satu penelitian juga jadi intinya si penulis ini mengatakan bahwa kalau misalnya manusia itu terlalu banyak mengonsumsi informasi dan itu sudah terlalu banyak dipikirannya, akhirnya dia jadi bingung. Dia jadi tidak bisa membedakan mana yang penting dan mana yang tidak penting. Itu yang dulu gue rasakan. Sebenarnya I knew my passion, tapi gue tidak tahu secara spesifik apa, tapi kalau sekarang gue tahu, my passion is talking about digital media, talking about its impact to people, talking about mental health. Gue ingin menjadi bagian dari sebuah gerakan yang membuat orang merasa lebih baik dengan dirinya sendiri. Karena gue tahu ketika kita terlalu banyak broken people di dunia, otomatis lingkungan kita juga akan broken. Jadi big picture-nya seperti itu. Lingkungan akan broken, dan kalau misalnya lingkungan akan broken, negara akan broken karena terlalu banyak broken people," papar Marissa.

Nantikan perbincangan lengkap Dave Hendrik bersama Marissa di seri Brunch With Dave Hendrik yang akan tayang segera di kanal YouTube Harper's Bazaar Indonesia!

Baca juga:

Ini Tips Bijak Gunakan Sosial Media, Salah Satunya Jaga Privasi Anda!

(Foto:Courtesy of Harper's Bazaar Indonesia)