Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Model Tidak Sempurna, Bolehkah?

Model Tidak Sempurna, Bolehkah?

Selama ini fashion dikenal dengan image tubuh 'sempurna' dengan ukuran tubuh serupa dengan model yang melenggang di panggung runway, seakan jauh dari jangkauan masyarakat awam. Namun, hal itu bukan tak beralasan. Untuk menciptakan karya busana, para perancang mode memerlukan ukuran standar untuk mengolah pola sehingga untuk menjawab ukuran standar tersebut, proporsi badan model pun harus mengikuti aturan tersebut untuk mencapai efektivitas dan efisiensi selama proses desain berlangsung. Berbekal arahan demikian, tak heran apabila situasi di panggung mode menjadi seragam dan terasa 'sempurna'. Alhasil sosok-sosok indah berkulit mulus pun tampil mendominasi jalan di catwalk.

Seiring langkah zaman yang mengusung spirit liberal, panggung mode dihiasi oleh semangat yang lebih manusiawi. Tengok saja kelahiran para model yang lebih berbicara masalah karakter dibanding syarat-syarat fisik. Bahkan, ada beberapa model yang membawa kelainan fisik dan merangkul kondisinya. Contohnya adalah Chantelle Brown-Young, lebih dikenal dengan Winnie Harlow atau Chantelle Winnie. Ia nampak menonjol karena memiliki kondisi kulit spesial, yakni vitiligo.

Ada pula Shaun Ross, model, aktor, dan penari asal Amerika yang merupakan model pria pertama dengan kondisi albino. Setelah berlatih selama lima tahun di sekolah Alvin Ailey, pria yang lahir di Bronx ini ditemukan YouTube, dan di usia 16 tahun memasuki industri fashion di bawah Djamee Models. Berselang setahun, ia tampil di Tyra Banks Show, bersama Diandra Forrest, yang notabene model albino juga, mereka berbagi kisah hidup. Pun di ranah fashion, ia berjalan untuk rumah mode Givenchy dan Alexander McQueen. Setelah itu, figurnya menjadi wajah Ford Motor Company yang mengangkat tajuk Be Unique.
Satu lagi yang juga tampil istimewa adalah Melanie Gaydos, ia memiliki kelainan genetika yang disebut ectodermal dysplasia. Kondisi ini membuat penampilan fisiknya terlihat sangat berbeda dari manusia pada umumnya. Kepalanya botak karena tidak ditumbuhi rambut, kondisi ini juga memengaruhi pertumbuhan gigi, tulang rawan, kuku, termasuk juga tulang-tulang kecil. Ia pun lantas mengawali langkahnya dengan menawarkan diri di sebuah laman pencari pekerjaan, dengan titel unique model. Kemudian, ia juga mencoba eksistensi di laman model amatir, sampai di satu titik ia berpartisipasi sebagai model video musik band beraliran heavy metal, Rammstein.

Selain kondisi fisik secara genetis, sejatinya dunia mode memiliki ruang untuk model androgini, termasuk model yang berukuran badan ekstra besar. Sebut saja Andrej Pejic, Erika Linder, Willy Cartier, Jana Knauer, dan Elliott Sailors yang mendobrak batas gender. Kehadiran mereka tak sekadar menjadi alternatif di dunia ini, bahkan mereka menjadi figur-figur yang dicintai industri fashion. Sedangkan eksistensi model berbadan ekstra besar sudah tercatat sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Walau tidak menjadi sorotan, pasar untuk badan berukuran ekstra nyata adanya. Syarat untuk plus-size model yakni berada di sekitar ukuran 8 hingga 12, dengan tinggi badan di 1,73-1,82 m.

Jadi jelas konklusinya jika fashion juga mewadahi diversitas. Memang prosesnya tak berlangsung instan, tetapi dapat dikatakan bahwa dunia mode telah sampai di satu titik ketika ia menjadi lebih ramah dan manusiawi. Karena sejatinya, fashion adalah konstruksi sosial yang lahir dari masyarakat, dan diciptakan untuk masyarakat.

 

(Gusti Aditya. Ilustrasi oleh Tatiana Romanova)