Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Mengupas Fenomena "See Now, Buy Now"

Akankah gerakan “See Now, Buy Now” menjadi suatu tendensi yang berkesinambungan?

Mengupas Fenomena

Semakin eratnya hubungan antara dunia fashion dan digital melahirkan sebuah revolusi nyata yang tak terhindarkan. Apabila di masa lampau kerahasiaan dari rancangan koleksi yang ditampilkan dalam peragaan busana dianggap sebagai suatu hal yang sakral, tidak berlaku demikian di era digital.

Detik-detik di saat para model melangkah anggun dalam balutan rancangan teranyar menjadi detik-detik jutaan mata dari berbagai belahan dunia menyaksikannya dengan sesama—tanpa harus duduk manis di tempat peragaan busana tengah berlangsung.

Dan pada menit-menit berikutnya, apa yang baru saja Anda saksikan di panggung runway sudah bisa Anda lihat kembali di portal online maupun akun-akun media sosial. Bahkan belakangan ini, dunia fashion diramaikan oleh perdebatan mengenai wacana 'see now buy now' yang memungkinkan konsumen untuk membeli koleksi runway langsung seusai fashion show.



Sedikit menilik kembali lembaran historis industri mode, sejak pertama dicetuskannya agenda pekan mode di era '40-an, peragaan busana dari rumah mode yang berpartisipasi dihadirkan beberapa bulan sebelum musimnya sebagai bentuk pratinjau bagi para jurnalis mode, buyers, dan merchandiser.

Pakem fashion week konservatif seperti ini memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi para fashion insider, baik untuk keperluan ritel maupun editorial. Masuknya dunia digital berhasil mentransformasi agenda fashion tahunan tersebut secara signifikan.

Dan kini, kemunculan pendekatan 'see now buy now' tentunya sangat berpotensi untuk membawa arus perubahan sistem secara besar-besaran dan patut untuk dicatat sebagai salah satu momen bersejarah dalam perkembangan industri fashion.

Pada bulan Februari lalu, bertepatan dengan kalender pekan mode untuk koleksi Fall/Winter 2016, sejumlah rumah mode memutuskan untuk mencoba pendekatan 'see now buy now'. Burberry misalnya, sebagai label fashion yang senantiasa menjadi pionir di pentas digital mengadakan agenda re-see yang terbuka secara umum di butik pusatnya di London setelah fashion show berlangsung.

Di sana para pelanggan dapat melihat langsung koleksi yang baru saja ditampilkan di panggung runway dan bisa segera membelinya dengan sistem pre-order.

Lain halnya dengan label seperti Michael Kors, Diane von Furstenberg, dan Monique Lhuillier yang sengaja menyisipkan sebuah koleksi kapsul di tengah koleksi inti yang dipertunjukkan.

Koleksi kapsul tersebut dapat segera dibeli langsung dari situs resmi label asal Amerika Serikat tersebut. Masih berpusat di negara adikuasa tersebut, department store bergengsi Bergdorf Goodman juga menyuguhkan sebuah jamuan in-store bertajuk "Right Off The Runway" yang memberikan kesempatan bagi konsumer untuk memesan koleksi runway dari label seperti Altuzarra, Jason Wu, hingga Prabal Gurung.

Kendati demikian, beberapa brand yang sempat berencana untuk turut berpartisipasi meramaikan wacana 'see now buy now' terpaksa harus menangguhkan gerakan tersebut. Label-label tersebut secara yakin berkilah akan melakukan gebrakan baru secara lebih matang dengan merealisasikannya pada perayaan fashion week di semester kedua tahun ini.

Sebagai contoh, Tom Ford yang pada awalnya dijadwalkan akan menampilkan koleksi Fall/Winter 2016 di bulan Februari lalu (sesuai dengan kalender umum pekan mode), memutuskan untuk absen dan memindahkan fashion show koleksi musim dingin di bulan September. Dan tentu saja, koleksi tersebut segera tersedia selepas acara.

Berkomitmen dengan wacana 'see now buy now', Burberry melansirkan koleksi bertajuk September 2016 tepat seusai peragaan busana serentak di butik-butik terpilih di seluruh dunia serta sejumlah e-commerce yang membawa koleksinya. Hal serupa juga direalisasikan oleh label Tommy Hilfiger.



Menariknya, di lain pihak tidak sedikit desainer dan label maupun organisasi fashion yang secara terang-terangan menolak gagasan 'see now buy now'. Meskipun euforia gerakan ini terasa begitu nyata disebarkan dan diadaptasi oleh label-label berbasis Amerika Serikat, namun mayoritas rumah mode asal Perancis dan Italia tampak bergeming dengan pendekatan revolusioner ini.

Mempertahankan standar kualitas produk, baik dari segi pemilihan material, estetika desain, hingga craftsmanship, menjadi argumen kuat yang menjelaskan mengapa mereka enggan untuk turut mengadaptasi konsep 'see now buy now'. Alasan ini sangat masuk akal, terutama bagi rumah mode yang dikenal dengan kerumitan detail pada rancangannya seperti Delpozo, Ermanno Scervino, atau Dior.

Label prestisius seperti Chanel justru mengklaim bahwa ia telah terlebih dahulu melaksanakan sistem 'see now buy now', dengan menjual pre-collection jauh lebih awal daripada main collection.

Sedangkan rumah mode legendaris asal Italia, Prada, memilih untuk menggunakan metode ini hanya untuk sejumlah rancangan tas runway terpilih. Keduanya seolah memberikan isyarat bahwa bagaimanapun juga, Anda tetaplah tidak dapat memiliki semuanya dalam sekejap mata.

Sebagian besar insan fashion berpendapat bahwa konsep 'see now buy now' merupakan strategi jitu untuk melawan kasus-kasus barang palsu atau penjiplakan desain yang kian marak berkat kian berkembangnya teknologi digital. Sehingga dengan mengadaptasi metode ini, konsumer dapat segera memiliki dan memakai runway item sebelum produk tiruannya bermunculan di pasar.

Akan tetapi, ada beberapa pokok pemikiran yang perlu diperhatikan dari pendekatan yang terfokus pada konsumer ini, selain kemungkinan akan terjadinya penurunan kreativitas yang akan mempengaruhi kualitas estetika dari hasil rancangan yang dipasarkan.

Gerakan 'see now buy now' ini dapat berimbas pada desainer-desainer baru yang tengah berkembang untuk dapat berkompetisi secara sehat di tengah gempuran pergeseran kalender mode konservatif.

Metode ini jelas sangat relevan dengan brand besar yang telah stabil baik dalam segi produksi dan distribusi, sehingga melansirkan koleksi utama di panggung runway beriringan dengan produk ritel bukanlah menjadi suatu hal yang mustahil.

Namun terlepas dari segala perdebatan yang ada, harus diakui bahwa konsep ini memang tidak dapat diadopsi dan dijewantahkan oleh semua label fashion. Dan mereka tidak diwajibkan untuk mengikuti kecenderungan baru ini pula.

Karena toh, pada dasarnya, esensi utama fashion adalah agar kita dapat bermimpi. Dan kini pertanyaannya dikembalikan pada Anda: apakah Anda memilih untuk segera merealisasikan mimpi (atau barangkali lebih tepatnya hasrat yang terlahir secara spontan), atau Anda memilih untuk menikmati mimpi sedikit lebih lama?